DAFTAR HALAMAN
Halaman
KATA
PENGANTAR.........................................................................................................
i
DAFTAR
ISI
......................................................................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
....................................................................................................
1
B.
Masalah
Pokok ....................................................................................................
1
C.
Tujuan
..................................................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Identitas
Etnis .....................................................................................................
2
B.
Sejarah
................................................................................................................
2
C.
Masyarakat
Suku Toraja .....................................................................................
3
D.
Kebudayaan
Suku Toraja.....................................................................................
5
E.
Bahasa
Suku Toraja ............................................................................................
9
F.
Ekonomi
Masyarakat Suku Toraja ......................................................................
10
G.
Komersialisasi
Suku Toraja .................................................................................
11
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
.........................................................................................................
13
B.
Saran
...................................................................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Suku Toraja adalah suku yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama
Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
"orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai
suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual
pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri
oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa
otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar.
Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama
Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an,
kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana
Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari
masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang
mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
B. Masalah
Pokok
1.
Apa
Identitas Etnis?
2.
Bagaimana
Sejarah Suku Toraja?
3.
Bagaimana
Masyarakat Suku Toraja?
4.
Apa
saja Kebudayaan Suku Toraja?
5.
Bahasa
Suku Toraja
6.
Bagaimana
Ekonomi Masyarakat Suku Toraja?
7.
Apa Komersialisasi
Suku Toraja?
8. Apa Filosofi Tau?
C. Tujuan
Dengan membahasa
kehidupan masyarakat suku toraja ini, kita dapat mengetahui bagaimana sejarah,
masyarakat, kebudayaan, bahasa, ekonomi dari suku toraja. Sehingga kita dapat
mengerti kehidupannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Identitas Etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan
secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad
ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja,
yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan
tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek,
hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to,
yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan
sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan
perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi.
Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan
kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini
tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok
etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan
suku Toraja (petani di dataran tinggi).
B.
Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya,
orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai
Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka
mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal)
karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada
akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di
antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut
animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an,
misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah
kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar
wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan
subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.
Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan
Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat
perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang
menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah
secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja
pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan
Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan
agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar
yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia,
Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang
Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan
seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang
diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui
secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat
aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah
satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai
bagian dari Agama Hindu Dharma.
C.
Masyarakat
Suku Toraja
ü
Keluarga
Sebuah
perkampungan suku Toraja
Keluarga
adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah
suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat
hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan
dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan,
untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal
balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian,
berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang
menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi
berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga.
Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan
nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya
disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum
adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan
pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun
hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan
masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang
membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau
tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan
potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
ü
Kelas sosial
Dalam
masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak
diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi
diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan
untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari
Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga.
Kaum
bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan,
sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk
menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan,
ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status
seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.
Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam
masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak.
Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa
membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.
Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang
sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran
tersebut yaitu hukuman mati.
ü
Agama
Sistem
kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan"
(kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur
orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian
digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua,
dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di
bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).
Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari
hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat,
praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada
para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.
Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
D.
Kebudayaan
Suku Toraja
ü
Tongkonan
Tiga tongkonan
di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional
Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna
merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja
tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial
suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam
kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan
leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di
surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah
pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi,
yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
ü
Ukiran kayu
Ukiran kayu
Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan
tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial,
suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar
kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi.
Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga
memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah
harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian,
seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas
dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti
hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan
akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan
ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu
ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai
dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang
teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya
meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka
sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa
motif ukiran Toraja
|
|||
pa'tedong
(kerbau) |
pa'barre
allo
(matahari) |
pa're'po'
sanguba
(menari) |
ne'limbongan
(perancang legendaris) |
ü
Upacara pemakaman
Tempat
penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta
pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang
rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat
lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh
keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan
dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi
semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang
baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun
sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan
dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan
sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal
di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya.
Sebuah
makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak
kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk
kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam
"masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika
ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman
yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat
dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan
dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati
dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur
di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya
sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya
diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak
digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama
setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
ü
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam
beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).
Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.
Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan
tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika
jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman.
Selama upacara, para perempuan
dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum
baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada
kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi,
sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian
ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian
Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk
merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong
yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh
perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah
tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua
adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau
dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah
suling bambu yang disebut Pa'suling.
Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak
berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik
lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
E.
Bahasa
Suku Toraja
Bahasa
Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai
dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan
digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa,
Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana
Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri.
Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja
menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu
adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Keragaman
dalam bahasa Toraja
|
|||
Denominasi
|
Populasi (pada tahun)
|
Dialek
|
|
Kalumpang
|
12,000 (1991)
|
Karataun,
Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
|
|
Mamasa
|
100,000 (1991)
|
Mamasa
Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae',
Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
|
|
Ta'e
|
250,000 (1992)
|
Rongkong,
Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
|
|
Talondo'
|
500 (1986)
|
||
Toala'
|
30,000 (1983)
|
Toala',
Palili'.
|
|
Torajan-Sa'dan
|
500,000 (1990)
|
Makale
(Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
|
|
Sumber:
Gordon (2005)
|
Ciri yang
menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian.
Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan
kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas
menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut
kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu
sendiri.
F.
Ekonomi
Masyarakat Suku Toraja
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada
pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya
adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan
suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan
dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik
kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi
Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak
perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka
usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak
yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota
di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi
pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat
Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya
ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir
1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan
pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat
asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
G.
Komersialisasi
Suku Toraja
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah
satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal
oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana
Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman
Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah
murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa, Pada 1976,
sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.
"Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur
pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian
kedua setelah Bali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang
tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja
(selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat
sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989, Suvenir dijual di Rantepao, pusat
kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu
dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai
daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil.
Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum
tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai
ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh
bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa
bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap
sebagai orang luar oleh suku Toraja.
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan
pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan
18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek
wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah
tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat
pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat
Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan
oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata"
menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung
beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa
pendapatan dari penjualan suvenir.
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja.
Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi
bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan
gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para
wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status
kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa
dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara
memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Toraja adalah suku
yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama
Kristen, sementara
sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To
Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian
dari Agama Hindu Dharma.
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup
dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi
tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia
(manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat
toraja.
Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang
mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi'
(Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai
luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara
bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara
bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah
memiliki dan hidup sebagai Tau.
B. Saran
Dengan adanya pembahasan diatas, kita bisa
mengetahui kehidupan dalam masyarakta suku toraja di sulawesi utara. Dimana
kita dapat menggambil hal positif dari kebiasaan – kebiasaan yang mereka
lakukan sehari – hari.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Kathleen M. (2006). Art as Politics:
Re-crafting Identities, Tourism and Power in Tana Toraja, Indonesia.
Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
Bigalke, Terance (2005). Tana Toraja: A Social
History of an Indonesian People. Singapore: KITLV Press. ISBN 9971-69-318-6.
Kis-Jovak, J.I.; Nooy-Palm, H.; Schefold, R. and
Schulz-Dornburg, U. (1988). Banua Toraja : changing patterns in
architecture and symbolism among the Sa’dan Toraja, Sulawesi, Indonesia.
Amsterdam: Royal Tropical Institute. ISBN 90-6832-207-9.
Nooy-Palm, Hetty (1988). The Sa'dan-Toraja: A Study
of Their Social Life and Religion. The Hague: Martinus Nijhoff. ISBN 90-247-2274-8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar